Selasa, 13 Desember 2011

Mishima Yukio vs Akutagawa Ryuunosuke!


Curhat dulu dikit ahh..Dulu, waktu gw mau skripsi, pilihan pertama gw adalah Kinkakuji atau Shiosai-nya Mishima Yukio. Gw suka Mishima, karena jatuh cinta dengan novelnya, Kinkakuji (Kuil Kencana, The Temple Of The Golden Pavillion, 1956). Sebuah karya yang diterjemahkan dengan sangat baik oleh Asrul Sani. Hingga pembacanya bisa merasakan kedalaman cinta atau lebih tepatnya obsesi dari Mizoguchi terhadap Kinkakuji. Keindahan yang terpancar dari Kinkakuji yang telah ia dengar dari ayahnya, membuatnya ingin sekali melihat dengan mata kepala sendiri. Ketika pertama kali ia memandangnya ada sedikit kekecewaan tapi ia terus bertahan dengan kecintaannya. Hingga akhirnya obsesi semakin dalam dan berujung pada pembakaran Kinkakuji oleh dirinya sendiri. Sebuah karya yang gw baca berulangkali.

Lil’ bit intermezzo..Went back to my gakusei era, in order to achieve my bachelor degree, I had to worked out some thesis for it. My first choice is Mishima Yukio’s Kinkakuji or Shiosai. I like his works, mostly I had a crush on his Kinkakuji (Kuil Kencana, The Temple Of The Golden Pavillion, 1956). An artwork that well translated by Asrul Sani. His readers could possibly felt the depth of love or more exact, the obsession of Mizoguchi towards Kinkakuji. He had already heard the beauty that rise from Kinkakuji repeatedly from his father. At the first time he took a glance on it, he felt disappointed. But he kept hanging on for it. Until that obsession grow deeper and deeper, it turned out to the burnings of Kinkakuji by Mizoguchi himself. It’s an artwork that I’ve read  repeatedly.

Tapi, karena kesulitan memperoleh naskah Jepangnya, akhirnya gw batal membahas Kinkakuji, lalu beralihlah gw ke Shiosai (Senandung Ombak, Sound Of The Waves, 1954), karya alih bahasanya diterjemahkan oleh Ayatrohaedi. Sebuah cerita cinta terlarang seorang nelayan, Shinji, dengan seorang gadis, Hatsue. Meski mendapatkan Shincho Prize, tapi karya ini menurut pendapat gw sedikit berbeda dengan karya-karya Mishima lainnya. Sebuah cerita cinta yang biasanya diwujudkan dalam metafora yang lain. Sekali lagi, gw kesulitan mendapatkan naskah jepangnya. Pernah sekali gw email ke sebuah perpustakaan di Jepang untuk meminta salinan file dari naskah Jepangnya. Sayang sekali, mereka tidak punya.

Apparently, I had some difficulties to get the Japanese script. I had to cancel it for my thesis. Then, next option, Shiosai (Senandung Ombak, Sound Of The Waves, 1954). The translation book in Indonesian were made by Ayatrohaedi. A forbidden love story between Shinji, the fisherman, and a woman, Hatsue. Eventhough it achieved Shincho Prize,but I felt it was quite different from most of his works. Mishima used to transform a love story into another metaphor, but not into a real love story. Again, it was difficult to get the script on Japanese. Once I’ve email to a library in Japan and ask for the copy of it. Unfortunately, they don’t have it. 

Kemudian, setelah teman gw pergi ke Jepang , dia mencoba meminta pendapat orang sana tentang Mishima Yukio.Ternyata, teman gw menemukan fakta bahwa orang Jepang tidak terlalu mengenal Mishima dan tidak memberikan apresiasi yang tinggi kepadanya. Mengingat sejarahnya yang kelam, ketika dulu Mishima sempat menyandera seorang komandan di markas Pasukan Bela Diri Jepang di Ichigaya,Tokyo. Aksinya ini sempat diliput oleh televisi. Setelah aksinya ini gagal, Mishima pun akhirnya melakukan seppuku. Mungkin karena aksinya inilah, orang Jepang tidak terlalu mengagumi Mishima. Mereka lebih mengapresiasi Natsume Soseki, Kawabata Yasunari (yang notabene adalah mentor dari Mishima), Akutagawa Ryuunosuke, dan sastrawan lainnya.. Itulah sebabnya kebanyakan karya Mishima Yukio lebih banyak ditemukan dalam bahasa Inggris, karena karya-karyanya banyak diapresiasi oleh orang-orang di luar Jepang. Tapi, teuteub gw masih suka Kuil Kencana yang buat gw adalah sebuah karya yang seperti teman diskusi gw bilang, begitu menukik dalam ceritanya..Dalem,bo!Hehehehe..

At that time, my friend went to Japan for student exchange program. Then, he ask some Japanese for their opinion on Mishima Yukio. And then he found out the fact that Japanese didn’t know him much and also didn’t gave him a good appreciation. Maybe it’s because of his coup attempt in the past. Mishima once made a commandant of Japan’s Self Defense Force to became his hostage. It happened in Japan’s Self Defense Force headquarter in Ichigaya, Tokyo. Then, he committed seppuku in the end of his failed coup attempt. This was broadcasted on television. Due to his coup attempt, the Japanese people didn’t admire him much. They appreciated more on Natsume Soseki, Kawabata Yasunari (in fact, he was Mishima’s mentor), Akutagawa Ryuunosuke and the other Japanese authors rather than him. That’s why mostly of his works were found more common in English instead in Japanese. His works more well appreciated by the people outside Japan. But, Kinkakuji’s still become my favourite’s, cause I think it has a great deep feeling of love-based on my friend quote-Amazingly deeeepp enough..!!-lol-

Okeh,lanjut! Setelah gw patah hati untuk sementara waktu, akhirnya gw ubek-ubek lagi toshokan (perpustakaan) mencari-cari seupil buku sastra untuk skripsi. Idealisme gw adalah tidak ingin membahas atau ‘memperkosa’ karya sastra yang sama dengan senpai-senpai gw sebelumnya. Seringkali satu karya yang sama dibahas dengan analisis yang bebeda-beda. Gw pengen karya sastra yang sama sekali belum pernah dibahas..Yosh, lanjutkan!

Ok, next! After I felt brokenhearted for a while, then I went again to toshokan (library) in search of literature books for my thesis. I didn’t want to discuss or ‘rape’ the same old artwork that my latest seniors have done before. Sometimes one artwork would be discussed in various kind of analysis. I want to get one certain artwork that haven’t been touched or ‘raped’ by anyone..Yosh, next chapter, please!

Sampai akhirnya, ada nih satu pengarang yang gila, (sebenarnya dia hampir ‘gila’ beneran lho) yang karya-karyanya memberikan satu pencerahan buat gw. Beberapanya karyanya hampir mirip dengan Mishima Yukio yang mengkritisi keadaan Jepang. Akutagawa lebih dikenal banyak orang di luar Jepang, karena ada karyanya yang difilmkan maestro film Jepang, Akira Kurosawa. Karyanya itu berjudul Rashomon (1915). Nah, gw lupa lagi gimana plotnya. Tapi, gw punya filmnya, jadul bo! Dibikinnya tahun 1950..dooonnng! Masih item putih tapi masih bagus kok. Rashomon sendiri ditulis Akutagawa saat sedang patah hati karena depresi kegagalan cinta pertama. Ia pernah menyatakan rasa cintanya kepada Yoshi Murachio, seorang pembantu di keluarga Niihara (nama keluarga ayahnya sebelum ia diadopsi oleh keluarga Akutagawa, saudara ibunya). Ia pernah mengirim surat serta mengakui perasaannya, tetapi percintaan itu kandas. Meski karyanya ini pada awalnya tidak dihiraukan oleh masyarakat, tapi lama kelamaan akhirnya disenangi juga. Mentor Akutagawa adalah Natsume Soseki, yang dikenal dengan karyanya, Kokoro (1914), yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. 

And finally, I had found one great ‘crazy’ author, (in fact he nearly went crazy..). His works gave me a certain enlightenment. Few of his works were quite similar with Mishima Yukio works that criticize Japan circumstances at the moment. Akutagawa were known by the people abroad through his work, Rashomon (1915), that were filmed by Akira Kurosawa, a Japanese movie maestro. I forgot the plot of the story, but I had the movie. It was an oolld movie made on 1950..Donggg! Black & white movie of course, but it’s still good enough to be watch..Rashomon were written by him while he was broken hearted after turned down by Yoshi Murachio, servant who works in Niihara’s family (Akutagawa’s father family name, before he adopted by the Akutagawa, brother of his mother). He already confessed his feelings to her, but things didn’t turned out very well. Rashomon didn’t well appreciated enough at first, but then slowly but sure, it achieved good reception from the readers. Akutagawa’s mentor were Natsume Soseki who’s well knowned by his works, Kokoro (1914). Kokoro has been translated into many languages.

Akutagawa juga menjalani kehidupan yang berbeda sama sekali dengan Mishima. Delapan bulan setelah dilahirkan, ibunya sakit ingatan. Kemudian ia diadopsi oleh keluarga dari pihak ibunya. Umur 10 tahun, ibunya meninggal dunia. Meski begitu, Akutagawa tumbuh menjadi anak yang cerdas. 

Akutagawa has a very slightly different life than Mishima. Eight month after he was born, his mother had a mental illness. Then he was adopted by his mother’s family. When he was 10 years old, his mother passed away. Inspite of that, Akutagawa grown up into a bright child.

Pengalaman yang ia alami dalam hidupnya dituangkan dalam karya-karyanya. Seperti karyanya, Haguruma (Spinning Gears, 1927) yang menceritakan gejala-gejala aneh yang dialami olehnya. Sebuah gejala yang sepertinya menuju ke arah kegilaan.

He expressed his life experiences to his works. For example, Haguruma (Spinning Gears, 1927) that tells his delusional experiences. A symptoms that may lead into a mental illness.
Tapi, Akutagawa juga menunjukkan sisi kritisnya terhadap keadaan Jepang. Ia menuangkannya dalam Kappa (1927). Karyanya ini menceritakan pengalaman seorang laki-laki di dunia kappa (makhluk legenda dalam cerita rakyat Jepang). Sebuah dunia yang dihuni oleh kappa, dan sepertinya inilah dunia yang sesungguhnya. Ketika ia sudah menikmati kehidupannya di dunia kappa, tiba-tiba ia terbangun dan ternyata ia adalah penghuni sebuah kamar di rumah sakit jiwa. Mungkin kita adalah orang yang gila di dunia yang fana ini, dan di dunia ‘lain’, kita menjadi diri kita yang sebenarnya..


Akutagawa also shows his critics to Japan circumstances at the moment. He wrote it on Kappa (1927). Kappa tells us about a certain man experience while he went to kappa’s (legendary Japanese folklore creature) world. A world full with kappa’s, and it feels like it was the real world. When he had already enjoy his life in kappa’s world, suddenly he woke up in a certain room in an asylum. Maybe we are lunatic in this world, but in the ‘other’ world, we may became our trueself.

Pengalaman pasien RSJ selama di dunia kappa itulah yang sarat kritisi terhadap keadaan Jepang saat itu. Kappa ini sempat jadi pilihan gw, tapi karena sudah sering dibahas, yaa..lewatt!..


This asylum patient experience while in kappa’s world were full of critics to Japan circumstances at that moment. Kappa once become my option, but it often used as a thesis material..So, passsss !!

Sampai akhirnya pilihan gw jatuh ke cerpen Jigokuhen (Hell Screen,1918). Meski judulnya cerpen, naskah Jepangnya sebanyak 20 halaman seukuran A4. Dulu gw dapet dari, klo gak salah buku Nihon Bungaku Zenshuu; Akutagawa Ryuunosukeshuu terbitan Shinchisa,1966. Sempat gw coba terjemahin dulu, tapi karena memperlambat jalannya penulisan skripsi, akhirnya gw putusin WOT aj dah. Jangan mikir yang aneh-aneh ya..kamsudnya WOT (Write On Typing),hehehe. Yaitu, gw terjemahin langsung sambil ngetik skripsinya. Untungnya, semua kanjinya udah gw furigana (diberi tulisan hiragana di atas huruf kanjinya). Lancar jayaa, kurang lebih dua bulan gw tuntas ngerjain.


Until I put my fingers down on a short story called Jigokuhen (Hell Screen, 1918). Eventhough it was short story-so called, the Japanese transcript is as much as 20 full pages of A4 size. I got this from Nihon Bungaku Zenshuu; Akutagawa Ryuunosukeshuu published by Shinchisa on 1966. At first I try to translate it, but then it slow down my process on writing the thesis. So I decide to WOT..(nothing bad though..lol) I meant Write On Typing, directly translate the Japanese while working on thesis typing process. Fortunately, I’ve add the furigana (hiragana above the kanji’s text)and it goes just smooth. Everything goes well, and I’ve done it only in two months.


Gw suka cerpen ini karena ceritanya menggambarkan pencapaian tingkat kepuasan seni, atau orgasme seni oleh seorang seniman bernama Yoshihide yang mendobrak moral serta nuraninya. Yoshihide yang putrinya berada dalam cengkeraman tuan tanah bernama Horikawa, diminta membuat karya seni oleh tuan tanah tersebut. Itu adalah syarat yang diminta tuan tanah apabila sang seniman ingin memperoleh kembali putirnya. Karya seni itu berupa lukisan yang menggambarkan pemandangan di neraka yang dinamakan Jigokuhen. Selama pembuatan lukisan ‘Jigokuhen’ itu, ada satu bagian yang tidak bisa ia lukis. Itu adalah lukisan dari bagian terakhir sekat tersebut. Adegan itu adalah seorang wanita yang menderita dan tersiksa oleh api dalam sebuah kereta kencana yang ditarik oleh sapi. Ia memohon kepada Horikawa untuk hal tersebut. Horikawa mengabulkan permohonan Yoshihide itu.


This story tells us about the accomplishment to an art satisfaction level, or an art orgasm by an artist named Yoshihide who break through his moral and consciousness. Yoshihide daughter’s was in the hand of a landlord named Horikawa. Then he’s asked by the landlord to make an artwork. It was a requirement asked by Horikawa if Yoshihide wants her daughter back in his hand. The artwork itself describe scenes portrayed in hell. It called Jigokuhen. During the painting process, there was one scene that Yoshihide couldn’t paint. It was the last scene of the Jigokuhen. The scene portrayed a woman who’s suffered and burned alive by the fire set on a carriage pulled by cows. He ask Horikawa for it, and then his wishes granted.
 
Tibalah hari untuk melukis bagian tersebut. Ternyata yang menjadi model lukisannya adalah putri Yoshihide sendiri. Meskipun putrinya begitu menderita dan tersiksa, tapi, seiring dengan berkobarnya api, ia bukannya menyelamatkan anaknya, tapi, malah hanya bersidekap dan berdiri menatapnya. Meski di depan mata putrinya terbakar, Yoshihide terus melanjutkan melukis adegan tersebut. 
‘Jigokuhen’ kemudian menjadi lukisan yang terkenal di mana-mana. Malam berikutnya setelah lukisan itu selesai, Yoshihide bunuh diri dengan menggantungkan diri dengan sehelai kain di langit-langit.
Meski pada saat ia melukis adegan tersebut, ia sepertinya membuang jauh-jauh nuraninya demi kepuasan seninya sendiri. Tapi, pada akhirnya hati nuraninya memberontak dan membuatnya melakukan bunuh diri karena penyesalan dan kasih sayangnya terhadap putrinya.
Mengingatkan gw akan para seniman yang terkadang membuang jauh-jauh norma dan nurani atas nama seni. Yah, semuanya kembali diserahkan pada penilaian masing-masing individu dan juga kepada pelaku seninya sendiri.


And then day to paint the last scene has come. The model of the scene is turned out to be..his own daughter. Though his daughter were desperately suffered by the raging fire set on the carriage, instead of saving his daughter, he just calmly stare to it. Yoshihide kept continue to paint the last scene, though right in front of his eyes, his daughter was burned alive.
Jigokuhen then became his masterpiece and gain popularity. The night after he completed the paintings, Yoshihide went on suicide by hanging himself with a cloth hanged on the ceilings.
When he paint the scene, he seems to throw away all of his consciousness for his own art satisfaction. But in the end, his consciousness struggle out and made him suicide due to his regret and his love to his daughter.
It reminds me to certain artists who sometimes threw away the norm value and their consciousness for the art’s sake. But it depends to every individual judgment and also to the art worker itself. It based on how they value it.

Kesukaan gw terhadap dua pengarang ini begitu dominan selama gw kuliah. Gw suka karya-karya sastra Jepang karena penggambaran detail yang begitu cermat sehingga pembacanya bisa membayangkannya seolah-olah mereka berada di tempat tersebut. 

My interest to both of this author became dominant during my studies. I love the Japanese literature, cause they describe every details thoroughly. So the readers could imagine as if were they inside the scene of the stories.

Mishima dan Akutagawa sama-sama meninggal dengan cara bunuh diri. Mishima melakukan seppuku, sedangkan Akutagawa meninggal dengan cara meminum Veronal. Sebagai penghargan bagi Akutagawa, sahabatnya, Kikuchi Kan, penulis Chichi Kaeru (1920), membuatkan sebuah penghargaan bernama Akutagawa Prize yang diberikan kepada sastrawan muda berbakat. Sedangkan Mishima sempat tiga kali dinominasikan untuk meraih Nobel di bidang sastra.

Mishima and Akutagawa were both died in the same way, suicide. Mishima committed seppuku, while Akutagawa died by having lots of Veronal. As a tribute to Akutagawa, his close friend, Kikuchi Kan, writer of Chichi Kaeru (1920), established an award named Akutagawa Prize. This award given to the young talented writers. While Mishima have been nominated three times for Nobel prize on literature.

Masih banyak karya sastra mereka yang masih bisa dikaji atau bila perlu kita bandingkan dengan karya sastra lainnya. Dulu sempat sih kepikiran membandingkan antara The Black Cat (1843) karya Edgar Allan Poe ma Jigokuhen ini. Tapi, untuk membahas Jigokuhen sendiri gw agak semaput karena konsentrasi gw tersedot habis. Ya, lewat lagi dahh…Fufufufu..


There’s a lot more artwork we could research or maybe compared with another ones. Once I have thought to compare The Black Cat (1843) of Edgar Allan Poe with this Jigokuhen. But my concentration already absorbed by this Jigokuhen only..And so, I’ll have to pass this..Fufufufu..

Tapi, bukan berarti gw lupa dengan karya negeri sendiri ya. Gw juga suka dengan puisi-puisi sastrawan kita. Puisi kita berkembang dari berbagai bahasa daerah yang kita miliki. Kita punya pantun, gurindam, dan banyak lagi jenis puisi tradisional lainnya. Penuturan yang lugas adalah ciri khas karya sastra kita. Lama kelamaan karya sastra kita semakin berkembang pesat. Karya sastra zaman sekarang yang gw suka mungkin sama dengan kebanyakan orang, Andrea Hirata dan beberapa dari Raditya Dika. Andrea berhasil memadukan ilmu pengetahuan, humor dan kearifan lokal dalam karya-karyanya. Itulah yang gw suka dan belum gw temukan lagi di karya sastra lainnya..^_^v

Doesn’t mean that we should forget about our own Indonesian works of art. I love the Indonesian poetry. Cause it based on many of our regional language. We had pantun, gurindam, and lots of other kind of traditional poems. The identity in our works of art is their simple expression. And times after times, our artwork rapidly evolved. Recent artwork I like is same in common with most people. It’s Andrea Hirata and few books of Raditya Dika. Andrea succeed in combining knowledge, sense of humor, and local wisdom in his works. That’s the point I like from him and haven’t found it yet on another author works..^_^v

Mari tetap membaca, karena membaca membuat kita ‘lebih’ berisi..Yok baca yok!!v(^o^)v..


Keep reading, cause reading makes us ‘more’ full..Let’s read! (^o^)v..

Sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/Ry%C5%ABnosuke_Akutagawa
http://en.wikipedia.org/wiki/Yukio_Mishima
Nihon Bungaku Zenshuu; 28, Akutagawa Ryuunosukeshuu, Shinchisa, 1966.

3 komentar:

  1. keren kk.. semoga aku bisa menemukan sesuatu yang bagus untuk aku bahas saat skripsi nanti..
    sekarang aja pusing ngerjain tugas pak budi.. nyari bahan nya susah,, bingung dimana..

    BalasHapus
  2. Amiin, didoain dapet yg bagus bwt skripsi..v^_^
    Tugas pak Budi? Pak Budi kan dosen pangbageurna sedunia..tanya2 aj, gak usah malu ma pak Budi. Btw, emang tugasnya apaan?

    BalasHapus
  3. ada punya referesni novel jepang tapi yg berbau-bau feminis gakkk?

    BalasHapus