Dewasa ini, kita
hidup di dunia yang mengandalkan media apapun bentuknya. Media cetak ataupun
elektronik, ditambah media jejaring sosial di internet seperti facebook,
twitter dan lainnya. Seperti yang terjadi saat ini, dimana media hampir bisa dibilang
mempengaruhi publik dalam berbagai hal. Apapun yang diberitakan media, publik
pun langsung merespon dengan beragam tanggapan, baik positif atau negatif.
Memang, dibanding dengan masa-masa terdahulu, saat ini media lebih terbuka dan
kritis terhadap berbagai situasi dan kondisi terkait dengan berbagai hal
terutama yang menyangkut kebijakan pemerintah. Ini adalah sesuatu yang bagus,
dan menunjukkann bahwa media komunikasi kita semakin berkembang dan bergerak
maju sesuai dengan zaman.
Tapi, apakah ini sesuatu
hal yang baik? Ketika kita merespon isu hanya ketika media mengeskposnya. Kita
baru ribut-ribut dan berdiskusi dengan mendetail ketika suatu masalah menjadi
isu publik. Kemana kita di saat sebelumnya?Tidurkah atau hanya diam saja?
Media adalah corong
informasi yang cukup ampuh di zaman globalisasi seperti sekarang ini. Apapun
yang dikatakan mereka, hampir dipastikan kita akan memperhatikannya dengan
seksama. Tapi, bila corong ini menyampaikan sesuatu yang salah, bisa jadi malah
kita yang jadi korbannya. Masih ingat dengan berita salah satu televisi swasta
kita yang memberikan peringatan akan adanya wedhus gembel yang memasuki kota
Yogyakarta? Masyarakat saat itu menjadi panik, dan sempat ada korban jiwa
karena hal tersebut. Kemudian terbukti informasi yang disampaikan dalam berita
itu salah adanya. Sangat berbahaya sekali bila kesalahan itu terjadi karena
media tersebut tidak melakukan pengecekan terlebih dahulu akan keabsahan
informasi tersebut. Dengan adanya reaksi masyarakat yang panik, kita bisa menyimpulkan
pengaruh media terhadap keseharian kita cukup mumpuni. Kepercayaan masyarakat
akan media sungguh tinggi. Berita-berita yang tersaji pun dilahap dengan apa
adanya. Apabila media mengkritisi suatu hal, masyarakat pun menyetujuinya,
begitu pula bila media menyuguhkan wacana yang positif dalam suatu perkara,
publik pun kembali menyetujuinya. Dengan kata lain, media adalah pembentuk
opini publik.
Media bisa saja
mengatasnamakan publik dengan berpendapat ‘A’ atau ‘B’ terhadap suatu isu,
karena publik pun diyakini akan berpendapat sama. Teringat akan pendapat teman,
jangan terlalu percaya dengan berita televisi. ‘kenapa?’ ujar saya. Teman saya
ini orangtuanya tinggal di Yogya tapi dia sendiri kerja di Jakarta, dan ketika
Merapi meletus orangtuanya berpesan untuk tidak terlalu mengkhawatirkan mereka.
Kalau perlu matikan televisi kalau ada berita tentang Merapi di Yogya. Ini
karena terkadang berita yang kita lihat di televisi terlalu berlebihan dan
berakibat orang yang menontonnya merasa khawatir ataupun cemas. Padahal, yang
terjadi di tempat kejadian tersebut ternyata tidak selalu seperti yang terlihat
di televisi. Satu lagi contohnya, berita tsunami di Jepang pada awal tahun ini.
Beritanya memang cukup menggemparkan. Saya pun ingin memastikan pada beberapa
teman saya tentang keadaan sebenarnya di sana. Menurut penjelasan teman saya, memang pada awalnya cukup
memprihatinkan, tapi selebihnya baik-baik saja. Kepercayaan terhadap media pun
–bagi saya- cenderung menurun karena hal ini.
Seperti halnya pula
tabiat pemberitaan yang ada saat ini, Ketika satu berita sedang
hangat-hangatnya dibahas, tak lama kemudian muncul berita baru yang pada
akhirnya menenggelamkan berita sebelumnya. Ketika berita Century sedang
ramai-ramainya diberitakan, muncullah berita tentang Gayus. Ketika Gayus naik
menjadi topik utama, muncul berita Nazaruddin, korupsi wisma atlet dan
lain-lain. Tidak adanya kejelasan tentang penyelesaiannya, tenggelam pula
berita tentang masalah tersebut. Media seharusnya juga menjadi salah satu alat
bagi masyarakat untuk memantau perkembangan yang ada di ranah informasi negeri
kita ini.
Bila boleh saya
tambahkan, media haruslah independen dalam menyoroti berbagai informasi. Jangan
terlalu memihak terhadap satu pihak atau golongan, seperti halnya T**ne yang
sepertinya kering dalam liputan lumpur Lapindo..(^^). Ketika terjadi
kerusuhanyang melibatkan aparat, kadangkala media menyalahkan aparat yang
represif. Saya pikir tugas mereka hanyalah mengemban amanat dari atasan untuk
mengamankan, dan terkadang sampai harus bertaruh nyawa. Dalam situasi tersebut,
mungkin saja pihak aparat yang bersalah tapi bisa saja yang berlawanan dengannya
yang bersalah. Intinya sih, dalam setiap pemberitaan, apapun itu, berikanlah
porsi yang seimbang dari dua sisi dalam menyajikan informasi. Kembalikanlah
kepada masyarakat untuk menilainya sendiri, dan jangan sampai menggiring opini
publik. Sejak era reformasi, kebebasan dalam menyampaikan informasi sangatlah
kita junjung, tapi harus tetap berjalan dalam koridornya. Saya penikmat
berita-berita terkini, dan tetap ingin menikmati berita-berita tersebut tanpa
kegelisahan serta kebimbangan..
...Informasi
adalah sesuatu yang berharga. Berharga bila kita menyampaikannya dengan cermat,
objektif dan transparan...
(NB:akhirnya ngeblog lagi setelah lama non aktif..mulai lagee,ahh!!)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar